Lomba Blog Kebahasaan dan Kesastraan

Selasa, 19 Oktober 2010

Biografi Sastrawan Indonesia

Pada postingan kali ini penulis akan mengutip beberapa proses terciptanya karya sastra oleh sastrawan Indonesia. Ada pun pemaparan mereka adalah sebagai berikut


" Meskipun ilmu dan filsafat sangat menarik hati saya dan sangat banyak waktu yang telah saya pakai untuk keduanya, tetapi kalau saya hendak jujur tentu saya akan berkata: menulis sastera baik berupa puisi maupun berupa roman lebih memberikan kebahagian kepada saya. Sebab dalam sastera saya dalam keadaan seorang pencipta yang bebas menumbuhkan perasaan, pikiran dan fantasi dan menyusun sekaliannya dengan kebebasan menjadi sesuatu yang menjelmakan kepribadian saya. Hasrat dan dambaan, kegirangan maupun kesedihan saya dapat saya lepaskan sebebas-bebasnya. Tentu dalam menulis karangan sastera itu ada waktunya segala sesuatu berjalan dengan lancer, tetapi sering pula kita berjuang amat lama untuk sebaris, satu alinea ataupun satu halaman. Beberapa kali kertas disobekkan, dan kita memulai dari semula. Dan meski bagaimana sekalipun kita berusaha untuk mencapai yang sebaik-baiknya, di sisi bagian-bagian yang menyenangkan kita, senantiasa kita menghadapi bagian-bagian dari ciptaan kita yang menimbulkan perasaan tidak puas. Terhadap bagian-bagian yang sesungguhnya, saya sering bersifat sebagai seorang Adonis yang girang menikmati baying-bayang wajahnya dalam cermin. Si penulis bukan saja menjadi pembaca yang pertama, tetapi pembaca yang berulang-ulang membaca ciptaannya sendiri”. (S. Takdir Alisjhbana)

“Kemudian saya berkecimpung selama beberapa waktu di bidang seni lukis. Tetapi saya rasakan seni ini sebagai seni bisu. Ini adalah seni manusia tanpa lidah dan saya tidak puas dengan seni lukis. Menurut perasaan saya, sarana lukisan tidak cukup lembut untuk mengucapkan gerak perasaan dan pikiran. Di dalam lukisan nyawa masih terus bergulat hendak mengucapkan diri seakan-aakn terkukung dalam tubuh yang tak dianugrahi bahasa. Maka akhirnya saya menyambut bidang kesusastraan, sebab disini saya dapat mengucapkan diri secara penuh sebagai manusia, sekalipun saya insyaf bahwa bayangan yang terlukis lebih keka; dam universal daripada bahasa sebagai sarana sastra. Kita tahu betapa banyak bahasa-bahasa mati di dunia, dan betapa di samping bahasa-bahasa mati itu masih berdiri dan berbicara hasil seni rupa di masa lampau. Di dalam kesusastraan pengalaman estetik tidak hanya melihat saat-saat jasmaniah, penginderaan, dan perasaan dari kehidupan kitasebagai insane, tetapi bersangkutan juga dengan masalah-masalah, jadi cirri khas kehidupan manusiawi. Di dalam sastra kita mengucap dan terbayang sebagai manusia yang pernuh.” (Subagio Sastrowardoyo)

“Adalah sangat sulit untuk menguraikan bagaimana dan kenapa saya menjadi pengarang. Pertanyaan demikian sering diajukan orang, tetapi tidak dapat saya jawab dengan pasti. Apakah karena bakat turunan, atau bakat alam, atau karena bakat lingkungan. Apakah karena hobi saja, atau karena alasan-alasan lain (umpamanya karena ingin tenar). Hal itu tidak mudah diuraikan. Sejak sekolah rendah saya sudah gemar membaca. Pada masa itu arus penerbitan buku saku (dulu disebut roman picisan) sangat melmpah. Mungkin sama dengan keadaan sekarang. Keadaan membantu saya untuk memuaskan kegemaran itu. Saya bersekolah di Kayutanam, dan bertempat tinggal di Padangpanjang, adakalanya berjam-jam pulang. Waktu-waktu senggang demikian member kesempatan buat saya untuk membaca. Membaca apa saja yang dapat say abaca. Koran majalah atau berbagai jenis buku. Bacaan yang saya peroleh karena dipinjam atau disewa. Kebetulan pula di Padangpanjang ada kerabat saya yang mempunyai kios yang menyewakan buku-buku cerita, seperti halnya kios yang menyewakan buku-buku cerita, seperti halnya kios yang menyewakan buku-buku cerita, seperti halnya kioas buku yang menyewakan cerita komik. Maka saya dapat meminjam nya dengan cuma-Cuma. Buku saku itu say abaca di kereta api, berangkat ke sekolah atau pulang dari sekolah. Di samping itu, ayah saya senang melihat saya gemar membaca. Saya sering diberi uang untuk membeli buku dan juga berlangganan majalah”. (A.A Navis)

Kutipan kisah biografi oleh penulis penting dilakukan disamping untuk menelaah karya sastra mereka, hal ini juga untuk mengetahui mengapa mereka mengarang. Kehidupan sosial yang dialami oleh sastrawan akan mempengaruhi proses pembuatan karya sastra mereka. Hidup adalah bahan yang penting bagi seorang sastrawan. Hidup pula menjadi inspirasi ketika mereka membuat karya sastra. Selain itu, hal ini dapat dijadikan motivasi juga bagi kita untuk mau menjadi sorang sastrawan ataupun penulis kreatif di bangsa ini.

*Kutipan ini penulis dapatkan dari buku "Proses Kreatif Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang" Pamusu Eneste, editor Jakarta 1982

Tidak ada komentar:

Posting Komentar